Menikahku

Menceritakan kisah menuju kasih (baca: menikah) membuat saya terkenang masa-masa itu, masa-masa yang menggalaukan.
Jadi, saat proses taaruf  atau perkenalan itu, pas banget saya lagi psikotes untuk persyaratan diangkat PNS. Tesnya di RS, ngisi pertanyaan yang entah berapa jumlahnya,males ngitung saking banyaknya. Daaan..hasil tes itu mengatakan saya sedang stres berat, tertekan dan galau. Padahal waktu itu kondisinya sudah tinggal menghitung hari menuju hari pernikahan. Saya stres karna mau nikah sama orang yang belum saya kenal sebelumnya. Padahal, menikah dengan orang yang belum dikenal adalah azzam saya. Kayaknya keren gitu. Haha..dasar saya emang masih anak-anak yang belum mencapai stabilisasi emosi. Tapi saya gak nyesel loooh *lirik-lirik suami.

Kalo ada yang bilang jodoh itu cerminan diri, super duper bener. Suami, cerminan diri saya. Persis, plek, cuma saya lebih manis *kibasjilbab. Karakter kami hampir sama, emosian, suka nyuruhnyuruh, gak sabaran, jadilah kalo ngobrol kami kayak orang lagi berantem. Tapi kami sama-sama mudah melupakan dan memaafkan, gak nyimpen dendam. Jadi gak masalah hari ini berantem, beberapa jam kemudian udah sayang-sayangan lagi #uhuukkk. Saya gak kebayang kalo nikah dengan orang yang lembut, perasa, dan kalem. Mungkin saya gak bisa bebas mengekspresikan diri karna takut kata-kata saya yang setajam silet melukai hatinya #eaaaa.

#Flashback

Saat itu Guru Ngaji saya sms seperti ini kira-kira:
G: Nila, ada biodata ikhwan, kapan bisa ambil?
N: (#Jeglerrrr, kaget tetiba disms gitu, padahal aslinya mah emang ngarep) Pekan depan insyaAllah mbak
Dan setelah saya nerima biodatanya, dengan deg-deg an saya buka. Berharap ikhwannya seganteng Iker Cassilas tapi sesholeh Umar bin Khattab #ngimpiiii, hehe
Dan nampaklah sesosok itu, yang sekarang udah jadi ayah dari anak saya yang imut, sosok yang berpose dengan sok keren dengan latar belakang hutan dan tebing, kayak penampakan, :P *sungkemAbi*
Yaahh..sempat sedikit kecewa waktu itu, kenapa ikhwannya gak berkacamata. Maklum, terlalu sering baca buku pernikahan dimana gambar ilustrasi untuk ikhwannya adalah seorang laki-laki berjenggot dan berkacamata. Apalagi berkacamata adalah obsesi saya dari SMP, dan alhamdulillah tidak terwujud, sesuatu yang saya syukuri saat ini.
Bimbang, galau, bingung, sedih, merana #lebaaiiii.
Baca-baca biodatanya, ikhwan alumni UGM, ya lumayanlah. Jurusan perikanan, lah pas bener, namaku kan Nila. Orang Cilacap, ngapak doong.
Istikhoroh, dikasih waktu seminggu sama Guru Ngaji saya. Entah memang tak ada jawaban dari istikhoroh saya atau emang sayanya yang gak sensitip. Guru Ngaji saya bilang, "coba taaruf dulu aja". Hmm..baiklah.
Pekan berikutnya kami bertemu, di rumah Guru Ngaji saya. Ikhwan itu datang bersama temannya (yang sekarang jadi suaminya salah satu Ibu-ibu yang nulis di sini juga). Nunduukk senunduk-nunduknya, maluuuu, degdegan. Ikhwannya pendiem banget nget #huh,aku tertipuuuu.
Dikasih waktu seminggu lagi buat pikir-pikir. Waktu itu, entahlah, saya merasa sangat tidak mantap. Istikhoroh tak juga menunjukkan tanda, apakah saya harus menerima atau menolak.
Di ujung hari detlen, saya telpon Guru Ngaji, curhat betapa gak mantep, gak ada hasil dari istikhoroh. Lalu Guru Ngaji saya bilang, "Apa alasan syar'inya untuk menolak? Agamanya bagus, shaleh insyaAllah, keluarganya baik juga." Jegleeerrr (lagi). Iya ya, apa alasan syar'i saya nolak. Ya, saya tak menemukannya. Lalu, kenapa menolak?

Kemudian tiba-tiba saya sudah tinggal menghitung hari pernikahan.

Perbedaan almamater, membuat pola komunikasi kami sangat jauh berbeda. Kampus saya, kampus yang nyaman, aman, damai, membuat saya kaku jika harus berkomunikasi dengan lawan jenis. Berkebalikan dengan suami, yang luwes dan santai aja komunikasi dengan lawan jenis. Jadilah beberapa kali saya "mengomeli" suami (saat itu calon) yang tertawa-tawa atau mencoba melucu saat membahas teknis pernikahan melalui telepon. Heloooo, kita belum sah jadi suami istri kaleee. Apalagi kami baru bertemu muka 3 kali saja. Saat perkenalan, saat saya dan keluarga silaturahim ke rumahnya, dan saat lamaran.

Apakah mungkin itu yang bikin (calon) suami terkintil-kintil sama saya, karna saya galak. Hahak..
Tapi kemudian akhirnya saya banyak belajar tentang cara berkomunikasi ini. Tengkyu beb ^^

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung ^^